RUANGPOLITIK.COM-Pengamat Politik Efriza mengatakan, wacana Penundaan Pemilu jika dibaca dengan cermat, wajar jika dianggap datangnya dari lingkaran Istana. Sepertinya Istana memang benar-benar punya agenda kepentingan dari proses demokrasi mendatang. Pemerintah dapat dianggap tidak menunjukkan sikap netral sebagai bagian yang terlibat menyelenggarakan Pemilu.
“Ini dilihat dari berbagai peristiwa, proses revisi UU Pemilu yang tiba-tiba dibatalkan oleh pemerintah, proses tim seleksi KPU yang disoroti karena pemerintah begitu ikut campur, berikutnya proses pemilihan penyelenggaraan pemilu yang juga tak lepas disoroti, lalu penentuan jadwal pemilu, penentuan jadwal kampanye bahkan hingga wacana penundaan pemilu,” papar Efriza, kepada RuPol, Kamis (3/3/2022).
Menurut Pengamat Politik Efriza, Istana punya kepentingan terhadap demokrasi seperti mengenai siapa calon yang akan melanjutkan kepentingan Jokowi, dan program-program apa yang telah ditawarkannya.
Oleh sebab itu, lanjut Efriza, karena Istana memiliki kepentingan keberlanjutan maka wacana ini digulirkan, tetapi ketika gejolak di masyarakat tinggi, maka pemerintah akan bersuara menolak.
Efriza meyakini, hal ini adalah gaya politik Jokowi di periode keduanya. Memainkan isu terkait kepentingan demokrasi dengan balutan tindakan-tindakan inkonstitusional, tetapi sekaligus mampu dibungkus dengan narasi kebangsaan.
Berita Terkait:
Cak Imin Cari Keuntungan Dibalik Kontroversi Menag Yaqut
Pengamat: Cak Imin Tunjukan Sikap Berseberangan dengan Pemerintah
Langkah Taktis Cak Imin di Pentas Nasional
“Sepertinya langkah ini akan layu, dengan lagi, lagi dan lagi, Presiden Joko Widodo keluar menyatakan pendapatnya yang tetap konsisten menolak upaya-upaya tindakan inkonstitusional, dan berpegang teguh pada konstitusi,” tutur Efriza.
Namun, imbuh Efriza, isu-isu seperti ini akan terus datang silih berganti, dengan tak bisa dilepaskan dapat ditunggangi oleh Istana demi kepentingan keberlanjutan kepemimpinan dan program-programnya serta pencarian sosok seseorang atau pasangan calon yang didukung oleh Istana.
“Akan terus ada wacana-wacana lain. Tetapi Presiden Jokowi sepertinya tak akan berani untuk mensikapi Perubahan UUD 1945 maupun Dekrit Presiden. Sebab Presiden Jokowi sudah menyatakan menolak upaya amandemen UUD 1945, seperti waktu merespons kepentingan MPR tentang Pokok-Pokok Haluan Negara, jelasnya.
Efriza menjelaskan, perihal upaya Dekrit Presiden, Presiden Jokowi juga melihat realitasnya akan merugikannya, misalnya akan kembali mengalami sentimen negatif seperti Soekarno dan juga tak didukung oleh PDI Perjuangan. Kemungkinan yang memungkinkan adalah konvensi ketatanegaraan, serta juga kesepakatan bersama, tetapi ruang-ruang ini sangat kecil peluangnya berbeda dengan Pilkada 2020 lalu.
“Kemungkinan besar, Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai kesepakatan bersama, tetapi agenda-agenda penyelenggaraan pemilu yang akan direcoki oleh upaya-upaya kepentingan pemerintah. Apakah tindakan ini negatif? Iya, jika kepada tindakan-tindakan inkonstitusional tetapi jika melakukannya dalam koridor demokrasi, dengan sasaran regulasinya, sepertinya bisa saja ada yang menganggap itulah seninya mengelola kekuasaan,” tandasnya.
Kendati demikian, Efriza mengungkapkan, bahwa yang terjadi saat ini adalah bentuk dari tidak adanya partai politik yang dominan dan konsekuensi dari sistem multipartai ekstrem tanpa adanya suara partai yang dominan, sehingga partai-partai yang berhasil memperoleh kekuasaan akan galau ketika sudah dua kali memperoleh jabatan.
“Istana akan terus melakukan tindakan-tindakan “menekan” menyoal penyelenggaraan demokrasi pada 2024 mendatang. Jokowi punya kepentingan yang disinyalir bukan saja untuk dirinya tetapi juga disinyalir untuk kepentingan partainya,” imbuhnya.
Pengamat Politik Efriza mencermati, setiap wacana yang cenderung bersifat negatif, tetapi di era kebebasan demokrasi dianggap hal wajar sebagai bagian dalam kebebasan berpendapat, apalagi kemudian diselesaikan dengan balutan komunikasi, kesepakatan bersama, malah sampai saat ini ternyata berhasil dikapitalisasi oleh Rezim ini dalam pengertian respons positif terkait popularitas dan elektabilitas dari masyarakat kepada pemerintahan.
“Namun sayangnya adalah pemerintah tidak benar-benar melakukan tindakan nyata menolak wacana-wacana negatif sejak dini. Artinya, perilaku pemerintah hanya bersifat menunggu respons masyarakat, dengan tujuannya untuk mengkapitalisasi popularitas dan elektabilitas atas rezim, bukan bersungguh-sungguh berada bersama kepentingan rakyat,” tegasnya.
Efriza menambahkan, hal ini adalah konsekuensi dari tidak adanya oposisi yang kuat, sehingga wacana-wacana yang sebenarnya dapat mengikis legitimasi pemerintahan, malah berhasil dikapitalisasi menjadi keuntungan untuk pemerintah.
“Jadi ini adalah teknik pemerintah dalam mengelola kekuasaan, untuk memperoleh respons positif masyarakat dari isu yang digulirkan oleh pemerintah yang cenderung kuat balutan negatifnya. Ini tak ubahnya wacana untung-untungan semata menunggu ayunan pendulum mana yang lebih kuat, di sana pemerintah akan turut merespon dan memperoleh keuntungan,” pungkas Efriza.(BJP)
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)