Oleh: M. Wirtsa Firdaus
RUANGPOLITIK.COM – Kedekatan Prabowo-Muhaimin dan munculnya sinyal dukungan Presiden Jokowi terhadap Ganjar Pranowo dan Erick Thohir melalui Car Free Day (CFD) bersejarah, Minggu (7/8/2022) kemarin, membuat peta Pilpres semakin menarik disimak.
Saat ini, saya sedang berimajinasi dengan menempatkan posisi menjadi pemerhati stasiun. Walau kadang imajinasi itu, melambung dan meliuk ke mana-mana, saya tetap berusaha untuk kembali menapakkan kaki mengikuti gravitasi.
Stasiun mulai dipenuhi warna dari sosok-sosok yang berseliweran, pintu gerbong terbuka menunggu para penumpang yang telah memiliki tiket menuju ujung lintasan Pilpres 2024.
Dengan adanya sinyal Ganjar Pranowo bergandengan tangan dengan Erick Tohir akan menjadi sesuatu yang menarik, jika memang sudah ada tiket yang di-booking.
Berita Terkait:
Soroti Polarisasi Saat Pemilu, AHY: Jangan Biarkan Buzzer Meruntuhkan Persatuan Kita
Ajang Kader Partai, Pilpres 2024 Bisa Munculkan 4 Pasangan Capres
Rakernas NasDem, Pengamat: Kemenangan Awal Surya Paloh dan Anies
Reshuffle Kabinet Langkah Mundur Jokowi
Lalu, siapa lagi penumpang yang bisa masuk gerbong kereta sebelah? Semakin membuat penasaran dan keingintahuan makin besar.
Dalam satu kesempatan awal, Gus Muhaimin telah mengajak Anies Baswedan menjadi ‘tamu istimewa’ pada gerbong yang sudah di-booking, namun baru bayar booking fee.
Karena untuk dapat membayar secara penuh, Gus Muhaimin masih butuh tambahan dari pemilik modal (partai lain).
Di sisi lain, Gus Muhaimin juga ada teman yang sudah booking tiket, yakni Prabowo Subianto. Jika bukti booking tiket mereka disatukan, mereka sudah bisa mendapatkan boarding pass untuk masuk satu gerbong bersama.
Gerbong ini bisa menjadi alternatif yang memiliki dapur pacu luar biasa. Walau tidak selaju kereta cepat, tapi jika pasokan daya keduanya cukup serta kerja serius, kereta Prabowo-Muhaimin ini bisa menjadi kereta listrik yang memiliki akselarasi mantap.
Bagaimana dengan pemilik lintasan kereta dari Jawa Barat, Ridwan Kamil? Nah, ini menjadi seru untuk menonton kereta lewat di depan stasiun kereta. Kereta Solo Balapan – Sumatera akan beradu laju dengan Kereta Solo Balapan – Stasiun Bandung.
Menarik untuk di lihat juga, apakah kereta itu berangkat dari Bandung menuju Jakarta atau hanya bisa di seputaran Jawa Barat? Mengingat untuk bisa menuju Jakarta, Ridwan Kamil tidak cukup hanya memiliki lintasan saja, tapi harus mencari gerbong yang akan dinaiki dan sampai saat ini, hal itu belum terlihat.
Eit, tunggu dulu, ada satu gerbong kereta berwarna merah. Kereta ini boleh disebut sebagai ‘kereta kencana’ karena sudah berhiaskan pernak-pernik yang cantik dan bisa bergerak di lintasan sendiri.
Tapi ada keraguan pada kemampuan masinisnya. Maklum, masinisnya perempuan dan selama ini dianggap belum memiliki kemampuan akselarasi dan manuver yang mumpuni.
Namun, jika Si Masinis Perempuan ini mendapatkan gandengan Wakil Masinis yang berpengalaman, bisa jadi kekurangan itu bisa tertutupi.
Sebelumnya, marak juga info rencana mengajak seorang Masinis Tua berpengalaman dengan ‘bintang tiga’ di pundak. Tapi apakah Masinis Bintang Tiga ini mau jadi wakil Si Masinis Perempuan?
Apalagi, Si Masinis Bintang Tiga sudah dua kali berpengalaman menjajal lintasan yang ada. Walau belum berhasil jadi pemenang, tapi paling tidak beliau sudah hapal jalur lintasan tersebut.
Wow, itu siapa yang berada di sana? Masuk stasiun tanpa ada tiket sama sekali, namun banyak yang meyakini dia bisa ikut salah satu gerbong. Tapi benar juga, gaya flamboyan dan karisma yang penuh pesona telah menarik hati sedikitnya dua pemilik tiket.
Sosok yang sebentar lagi menyerahkan Stasiun Ibukota itu, ramai disebut-sebut akan berpasangan dengan seorang Prajurit Muda yang juga sudah booking tiket di awal.
Jika keduanya bergabung dan dua pemilik tiket di atas ikut mendukung, sepertinya akan menjadi salah satu gerbong yang cepat dan berpotensi bisa menyentuh garis finish tercepat.
Politik memang indah seindah terang bulan pengasingan Bung Karno di prodeo Hotel Menumbing Bangka Barat. Namun jika salah melangkah, menganalisa, dan memilih strategi politik akan menjadi ketam batu yang hanya enak dibuat gudo-gudo ketam saat kemah saat kita kehabisan makanan.
Lakopade krio panting putus bedenting cupak gantang dak berubah dan pondok tuas itu proletar.
*Penulis merupakan pengamat media, budaya, dan politik.
Editor: Zulfa Simatur
(RuPol)