RUANGPOLITIK.COM — Isu perpecahan di internal PDI-Perjuangan kembali mengemuka, bahkan menjadi trending di media sosial twitter dengan hastag #MegaDikudeta sebanyak 3.412 cuitan berseliweran di lini ini. Pergesekan di internal PDI-Perjuangan ini semula ditenggarai karena ngototnya Puan Maharani untuk menjadi capres dari partai Banteng. Hingga kemudian merembet dengan dukungan yang diberikan oleh relawan Koalisi Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo (Kami-Ganjar) agar Joko Widodo menjadi Ketua Umum PDI-P 2024.
“Untuk PDI-Perjuangan, kita tahu bahwa fatsun partai itu adalah demokrasi, bukan partai kerajaan, maka kami berharap Pak Jokowi mau dan bisa terpilih kelak menjadi Ketua Umum di Kongres PDIP Tahun 2024,” kata Joko melalui keterangan tertulis, Rabu (26/10).
Benarkah isu Mega Dikudeta? Menanggapi isu faktual yang membuat gempar dunia maya dan politik tanah air, RuPol.com mencoba menganalisa trending topik ini pada pengamat politik Efriza yang juga dosen politik di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, pada Kamis (27/10).
“Jokowi tak akan melakukan itu. Jokowi hanya menekan Megawati untuk mengupayakan memilih Ganjar Pranowo. Itu dilakukan Jokowi karena realitas elektabilitas Ganjar dan dorongan internal dan masyarakat kepada Ganjar. Hal penting adalah proyek strategis nasional berkelanjutan dan kemenangan hattrick PDIP,” jelasnya.
Karena itu, isu yang merebak bahwa Mega Dikudeta, menurut Efriza adalah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Apalagi sosok Mega yang sangat kuat dan menjadi icon utama dari PDI-P.
“Figur Megawati sangat kuat. PDIP tak pernah ada faksi lagi. Saat ini faksi yang ada hanya sekadar kumpulan pendukung saja terhadap sosok yang diharapkan terpilih capres, bak kompetisi idol semata. Tidak ada figur patron didalamnya yang berusaha memborong adanya massa yang banyak, tidak adanya faksi yang sesungguhnya. Semua masih satu komando kepada Ketua Umum PDIP. Jadi dapat diyakini tidak akan terjadi perpecahan kepada PPP seperti tempo kemarin di Pemilu Serentak 2024. Juga tak akan ada lagi gerakan seperti tempo lalu, Roy BB Janis dkk. Sebab kesadaran berpartainya sudah berbeda, Megawati pemersatunya, perekatnya, dan sudah dimufakati bersama. Ini model demokrasi terpimpin pilihan PDIP,” jelasnya.
Menilik adanya desakan dari arus bawah dan prestasi politik Jokowi yang sukses, Efriza menilai sangat sulit bagi Jokowi untuk meraih posisi Ketua Umum di partai Banteng ini. Apalagi masih adanya trah Soekarno yang tentunya takkan membiarkan Jokowi berkuasa, ia hanya ditempatkan sebagai petugas parta.
“Rasanya PDIP menjadi demokratis sangatlah sulit, kuncinya di Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum. Demokrasi PDIP adalah Demokrasi Terpimpin. Megawati adalah sosok kharismatik, dihormati, dan dianggap pemersatu partai. Jadi rasanya tidak akan ada yang berani mengusik maupun membicarakan suksesi terhadap PDIP. Ini karena satunya komando, satu gerak dalam barisan Ketua Umum. Di sisi lain, andaipun PDIP menjalankan sistem demokratis, terbuka untuk para kader, melihat secara ideologis, kesadaran sendiri, rasanya mereka akan memilih dari trah Soekarno. Jadi urusan suksesi kepemimpinan, hanya menguat kepada antara Puan Maharani dan Prananda semata. Rasanya, Jokowi juga tidak berani, enggan juga untuk maju menyatakan siap suksesi kepemimpinan menggantikan Megawati,” jelasnya.
Jangankan Jokowi, kaum-kaum reformis yang dulu gahar dipanggung untuk menjatuhkan Orde Baru, mereka tidak berani bicara reformasi kepartaian, maupun berbicara suksesi kepemimpinan, padahal disana ada Budiman Sudjatmiko dan Adian Napitupulu.
“Jadi dalam jabatan pemilihan ketua umum PDIP, selalu aklamasi dan final, pada figur Megawati. Mereka juga merasakan Megawati sebagai politisi memang sudah matang. Kesadaran kader internal bahwa Megawati adalah pemersatu partai, ikon partai, dan keputusan tunggal dari PDIP, merekalah yang mufakati,” tegas Efriza.
Friksi Trah Soekarno dan Demokrasi
Dinamika konflik yang digadang-gadang karena trah Soekarno yang menginginkan kekuasaan tak bisa pungkiri. Efriza mengatakan jika mereka yang berada dalam faksi memiliki argumentasi yang kuat antar mereka. Kubu Puan menekankan kepada trah Soekarno, Umumnya berkategori ideologis, kaum tua, dan utamanya pejabat partai, elite-elitenya.
Sedangkan pendukung Ganjar, lebih mengedepankan realitas dilapangan yang mereka rasakan ketika berhubungan dengan Ganjar maupun Puan Maharani secara langsung. Mereka juga melihat realitas dukungan masyarakat dan mereka dianggap searah. Mereka juga berpikir Ganjar lebih diterima, respons positif dari penerimaan publik atas kinerja dan sosok keduanya.
“Kedua faksi ini menguat di internal PDI-P. Namun di luar PDI-P, Presiden Jokowi juga memiliki kepentingan untuk proyek strategis nasional dijalankan oleh presiden terpilih nanti. Sehingga faksi Ganjar memperoleh dukungan yang besar dengan terlibatnya Presiden Jokowi sendiri. Meski tidak secara langsung, karena Jokowi menyadari keputusan PDIP adalah keputusan Megawati semata,” ungkapnya.
Sementara itu, keberadaan Dewan Kolonel dianggap Efriza dapat memicu konflik internal ini menjadi meningkat. Pasalnya Dewan kolonel ini tindakan kebablasan. Seluruh anggota internal PDIP menyayangkan hal tersebut.
“Ini terjadi juga tidak bisa dilepaskan dari orang-orang yang terobsesi, cenderung juga putus asa, dan juga untuk menekan Megawati Soekarnoputri, sekaligus aksi ‘pamer’ kekuasaan dari legislator di Senayan. Perilaku ini tidak akan bergerak kepada kudeta. Hanya yang disayangkan adalah Dewan Kolonel, adalah hal berbau militer. Juga mengingatkan kepada Dewan Jenderal dan PKI, dikehidupan Orde Lama,” kritiknya.
Dewan Kolonel juga terjadi oleh orang-orang pendukung Puan Maharani, sayangnya pendukung Puan adalah beragam dari kader ideologis dan kader “karbitan” sayangnya yang bukan ideologis selalu mengupayakan sensasi tapi tak mengerti rohnya PDIP. Inilah yang akhirnya, kader PDIP merasa persaingan ini sudah kebablasan. Jadi meski modelnya demokrasi terpimpin, tetapi bagi kader internal itulah pilihan yang mereka mufakati, bukanlah tindakan otoriter.
“Jadi tekanan kepada Megawati bukan kepada kursi jabatan ketua umumnya. Sepertinya di PDI-P tidak akan ada lagi model seperti Anas Urbaningrum di Partai Demokrat dan tak akan ada model Muhaimin di PKB. PDI-P sudah melewati masa itu, setelah kelompok Roy BB Janis dkk, akhirnya keluar dari PDI-P, dan karirnya menurun drastis, dan cenderung tenggelam,” ucapnya.
Hubungan Jokowi dan Megawati
Lebih lanjut, Efriza mengatakan pada 2014 lalu perangai Jokowi begitu keras menekan PDI-P dan Megawati, ia menggunakan kekuatan Nasdem sebagai pelindung pemerintahannya dari tekanan PDI-P dan Megawati.
“Nyatanya sekarang, Nasdem malah tak menjadi pilihan menarik lagi bagi Jokowi. Apalagi jabatan strategis dalam pemerintahan juga beberapanya diberikan kepada Megawati, teranyar Jokowi malah menyindir Nasdem di forumnya Golkar,” ungkapnya.
“Ini menunjukkan PDI-P dan Jokowi harmonis, hanya soal Ganjar dan Puan saja agak berbeda tetapi mereka dalam satu frame menghormati Megawati, menghormati keputusan partai yang diserahkan kepada Megawati Soekarnoputri semata,” ulasnya
Saat ini malah, Jokowi turut menyerang kubu Anis dan Nasdem. Ini menunjukkan ada satu komando kebersamaan lagi. Jadi riak-riak ini bisa naik dan turun oleh karena intervensi Ketua Umum. Dan, KIB juga sepertinya masih menunggu PDIP. Potensi PDIP mengusung Ganjar Pranowo sepertinya juga besar, sehingga riak-riak ini akan terus berlanjut. Namun menjelang last Minute, mungkin saja Jokowi lebih kuat menekan Ketua Umum, maupun kubu Puan juga kencang berusaha menekan Megawati dari luar dengan aksi-aksi kontroversinya. Tetapi keputusan tetap diserahkan kepada Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum.
“Pilpres 2024 ini menyebabkan terjadinya faksi di PDI-P. Faksi ini terjadi karena adanya dua tokoh yang bersaing di Pilpres 2024 ini. Dua tokoh ini berbeda dalam banyak hal, seperti elektabilitas, pengaruh, dan jabatannya. Faksi ini menunjukkan dukungan antara kepada Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Namun, diantara dua faksi yang bertarung ini juga ada kelompok yang memilih posisi netral. Posisi netral dipilih karena alasan menyelamatkan karir politiknya, juga sekadar pengurus wilayah hirarki bawah saja. Meski demikian mereka juga terbawa arus dukungan atas dua tokoh ini, hanya mereka tak beriak,” ungkap Efriza.
Megawati tidak akan mengeluarkan Ganjar dan Jokowi, tapi penegakan keputusan partai penting misal kepada Ganjar Pranowo. Atas nama, satu komando, dan mengupayakan tak ada kegaduhan di internal PDIP. Sehingga untuk mengatasi riak di kubu internal PDI-P ini, Efriza menilai Megawati takkan diam, pasti ia akan segera mengambil langkah bijak agar isu liar ‘perpecahan’ di internal PDI-P ini tidak luber kemana-mana.
“Di sisi lain, Megawati juga akan turut melakukan pertemuan empat mata kepada Jokowi. Maupun Jokowi yang menemui Megawati. Keduanya hubungan yang saling menghormati organisasi antara ketua umum dan “petugas” partai, dan juga realitas seperti antara “ibu” dan anak. Jadi tekanan ada, tapi Ganjar dan Jokowi tipe kader ideologis, mereka paham garis partai, maka jelas mereka akan menarik diri jika terjadi sedikit rusuh,” ungkapnya dan ia yakin Mega akan cepat tanggap terhadap isu ini.
Jadi mereka tidak keluar apalagi dikeluarkan oleh Megawati selaku ketua umum. Bahkan, sinyal mulai meredanya sedikit riak-riak di internal sudah terlihat, seperti meredanya keaktivitasan pendukung Puan dan juga meski di sanksi Ganjar tersenyum dan kompak bersama Sekjen dan Ketua Dewan Kehormatan Partai.
Diakui, jika hubungan Jokowi dan Megawati memang hubungannya retak, sejak 2014 lalu. Tapi mereka tetap bersama dan duduk bareng. Karena ini hanya tentang hubungan ibu dan anak yang minta diperhatikan saja, maupun antar “petugas” partai sedikit mencari perhatian ketua umumnya.
Dan ia menilai Jokowi juga bukan anak yang amat “nakal,” ia menyadari dirinya sebagai “petugas” partai. Hanya saja ia punya obsesi terhadap kesuksesan pemerintahan dan keberlanjutan pemerintahan. Rasanya kesadaran politik Jokowi menekan Megawati teramat cerdas, karena tetap mengedepankan partainya. Bukan obsesi pribadi yang berlebihan mengalahkan kepentingan kelompoknya. (IY)
Oleh: Efriza, SIP, M.Si
Dosen Ilmu Pemerintahan Dan Pengamat Politik Citra Institute
Editor: Ivo Yasmiati