RUANGPOLITIK.COM — Pernyataan Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti dikecam sebagai sosok yang tidak konsisten lantaran menggaungkan wacana menambah masa jabatan Presiden Joko Widodo.
La Nyalla mengusulkan supaya masa jabatan Jokowi ditambah selama 2-3 tahun. Yang menjadi sorotan, wacana ini muncul nyaris bersamaan dengan usul Ketua MPR RI Bambang Soesatyo untuk menunda Pemilihan Umum 2024.
Namun dilihat di kanal YouTube Refly Harun, La Nyalla menegaskan pihaknya tetap konsisten sebab tidak meminta Jokowi untuk memerintah di periode ketiga.
“Saya dulu ngomong bahwa tidak ada 3 periode, dan sampai sekarang pun saya tidak pernah ngomong ada 3 periode. Kapan saya ngomong? Anda aja yang asal ngomong,” kata La Nyalla, dikutip pada Sabtu (17/12).
La Nyalla menyebut pihaknya hanya meminta periode jabatan Jokowi ditambah selama proses addendum UUD 1945 berlangsung demi mengembalikan konstitusi Indonesia ke jalur yang benar.
“Sambil menunggu addendum, kita minta Pak Jokowi diperpanjang dulu 2-3 tahun, untuk mengawal addendum selesai. Kalau addendum selesai dalam 1 tahun, kenapa tidak? Kan kita bicara yang paling jelek,” ungkap La Nyalla.
Pengamat politik Efriza saat dihubungi RuPol, Senin (17/12) menilai penundaan pemilu dalam UU Pemilu hanya terkait Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. Namun, penundaan pemilu dapat saja ditunda jika secara bersama-sama antar lembaga DPR-Presiden dan KPU-Bawaslu menghendaki, umumnya karena alasan yang amat jelas, seperti waktu itu Pandemi.
“Kalo sekarang sulit disepakati karena alasan dibalik itu adalah penundaan pemilu untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Jokowi dan DPR-RI semata,” tegasnya.
Pernyataan Ketua DPD RI ini kembali menghentak publik soal wacana mengembalikan pemilihan presiden melalui lembaga MPR. Menurut La Nyalla, saat ini Indonesia sudah salah kaprah dan mengarah ke paham liberal alih-alih Pancasila.
“Kalau (Jokowi) nggak mau (menambah masa jabatan selama addendum UUD 1945), ya kita kembali lagi ke arah liberal. Ingat lho ya, kita sekarang dibohongi dengan sistem UUD 2002, itu sistemnya liberal. Kita ini mau menegakkan Pancasila apa bukan?” jelas La Nyalla.
Efriza mengkritik ucapan yang keluar dari seorang petingi negara ini. Dan mengatakan jika ucapan ini berpotensi untuk membawa negara ke dalam konflik.
“Orang-orang yang mengusulkan penundaan pemilu adalah mereka yang menjerumuskan negara dalam kecenderungan terjadinya konflik maupun chaos di negeri ini. Mereka hanya mengedepankan syahwat politik dengan mengusahakan pencarian pembenaran yang malah tidak masuk akal,” tegas dosen politik ini.
Sementara itu, La Nyalla Ia berdalih hanya ingin mengembalikan Indonesia ke UUD 1945.
“Kalau kita mau menegakkan Pancasila, kita harus kembali ke UUD 1945, pemilihannya tidak ada Pilpres langsung. Pilpres-nya melalui MPR. Kalau kita Pilpres langsung, kita arahnya liberal,” ucap La Nyalla.
Efriza menilai pemaksaan di lembaga negara tentu saja, tetapi memang kita lagi cengkram oleh pemerintahan otoriter, sayangnya Lembaga-lembaga negara lain sudah turut mengikuti maunya penguasa. Sehingga mereka merasa ditambah pemunduran satu tahun yang menyenangkan mereka masih terus menjabat dengan jabatannya tersebut.
“Usulan ini tentunya keblinger. Mereka pada dasarnya hanya mengedepankan obsesi dirinya semata yang ingin tetap menjabat di pemerintahan lebih lama. Mereka tidak konsisten dalam kesepakatan yang mereka buat, untuk menyelenggarakan pemilu.
Menurut La Nyalla, pihak-pihak yang menolak Pilpres melalui MPR justru kaki tangan oligarki.
“Jadi kalau nggak ngerti, jangan asal ngomong, gitu aja,” ucap Ketua DPD RI ini yang gerah dengan segala kritikan yang mengarah kepadanya.
Efriza tak sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Ketua DPD RI tersebut. Ia menilai jika kepercayaan publik ke pemerintahan Jokowi masih tinggi harus penyelenggaraan Pemilu sesuai jadwal. Sebab jika Pemerintahan saat ini sedang dalam posisi turbulensi maka yang ada adalah percepatan pemilu.
Dan, saat ini tidak ada alasan yang masuk untuk penundaan pemilu, kecuali memang semangat dari orang-orang yang tamak akan kekuasaan.
“Mereka adalah aktor pendukung menjerumuskan negeri ini dalam kekacauan berpikir, hanya untuk menambah waktunya berkuasa semata,” pungkas Efriza. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)