RUANGPOLITIK.COM— Kisruh sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup masih menjadi perdebatan menjelang keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi. Menurut Skala Survei Indonesia (SSI) sebesar 63% responden memilih sistem pemilu tetap menggunakan proporsional terbuka atau coblos caleg.
Hal ini dijelaskan Direktur Eksekutif SSI Abdul Hakim mengatakan untuk menguji pendapat publik ini, dalam survei disodorkan dua pernyataan kepada responden dan responden diminta untuk memilih salah satu diantara dua pernyataan yang diberikan.
Pernyataan pertama, “Saya setuju pemilu legislatif 2024 diubah menggunakan sistem proporsional tertutup (coblos partai)”. Pernyataan kedua, “Saya setuju pemilu legislatif 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka (coblos caleg)”.
Sebelum dua pernyataan ini disodorkan kepada responden, terlebih dahulu responden diberikan pemahaman apa itu sistem proporsional tertutup dan apa itu sistem proporsional terbuka.
“Hasilnya, yang memilih pernyataan pertama, yakni setuju agar pemilu 2024 diubah menggunakan sistem proporsional tertutup sebesar 4,8%. Sementara yang memilih pernyataan kedua, yakni agar pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sebesar 63,0%. Sisanya, yakni sebesar 32,2% mengaku tidak tahu/tidak jawab/rahasia,” ujarnya.
Abdul Hakim merinci alasan responden yang memilih pernyataan Pemilu legislatif 2024 agar diubah menggunakan sistem proporsional tertutup yang sebanyak 4,8%, di antaranya karena memandang pemilu langsung berbiaya mahal 27,6%, terlalu banyak pilihan 20,7%, pemilu menjadi lebih lama 10,3%, dan berpotensi money politik 6,9%.
Sedangkan alasan responden yang memilih pernyataan agar Pemilu legislatif 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka yang sebanyak 63,0%, karena memandang dapat mengetahui atau melihat calon-calonnya 19,0%, dapat memilih langsung calonnya 17,1%, hak rakyat dalam menentukan pilihannya 13,8%, lebih transparan dan terbuka 12,0%, dan masyarakat harus mengetahui calon serta partai yang mereka pilih 6,3%.
Abdul berharap hasil survei ini bisa menjadi pertimbangan majelis Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang melakukan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
“Ada baiknya MK memutuskan hasil uji materi juga memperhatikan aspirasi publik. Keputusan yang sudah pernah dibuat pada tahun 2018 tentang gugatan yang sama, sebaiknya lebih dipertegas kembali untuk terus memapankan arah demokrasi di Indonesia,” ujarnya.
Survei ini dilakukan pada 6-12 November 2022 dengan total 1.200 responden. Teknik penarikan sampel menggunakan multistage random sampling. Wawancara tatap muka langsung dengan responden menggunakan kuesioner. Margin off error survei ini sekitar -+2,83% dan tingkat kepercayaan 95%.
Sementara itu, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, mengatakan, jika pemohonan terhadap sistem pemilu proporsional yang kini sedang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan, Indonesia tidak lagi menerapkan Demokrasi dan membawa ke masa Orde Baru.
“Jadi misalnya, sekali kuncinya dicabut, tafsir MK sebelumnya dicabut, pasti akan muncul tuntutan untuk menghemat biaya Pilkada, enggak usah Pilkada langsung, dipilih oleh DPRD saja,” tegasnya.
Ia melanjutkan pemilihan presidennya juga begitu, kalau Pilpres langsung itu biayanya besar sekali dan sekarang kembali ke MPR saja lagi kayak dulu dipilih oleh MPR sebagai mandataris.
Sistem proporsional tertutup pernah digunakan Indonesia pada masa Orde Baru. Namun, pada 2008, MK mengabulkan tuntutan pemohon tentang Pengujian UU 10 Tahun 10 Tahun 2008.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)