RUANGPOLITIK.COM— Nasib Anies Baswedan sebagai capres seperti di ujung tanduk. Bagaimana tidak, koalisi masih gagal satu suara untuk secara bulat mendukung Anies. Tak hanya itu, koalisi bubar sebelum terbentuk juga kian santer terdengar.
Ditambah lagi suara pesimis mulai terlihat dari ucapan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, Ahmad Ali mengatakan bahwa partainya akan meminta maaf kepada masyarakat jika nantinya NasDem tidak bisa mendapatkan rekan koalisi untuk mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden (capres).
“Kita realistis, kalau kita tidak menemukan rekan koalisi, kita harus minta maaf ke masyarakat yang mengharapkan kepada Anies. Kita tidak bisa mengusung Pak Anies, karena tidak ada partai yang mau berkoalisi,” ujar Ali kepada wartawan, Selasa (24/1/2023).
Apakah Anies bakalan batal untuk dapat golden tiket RI-1? Menurut pengamat politik Efriza dari Citra Institute saat dihubungi RuPol, Rabu (25/1/2023) mengatakan wajar deadlock karena baik NasDem dan Demokrat merasa sama-sama unggul sebagai partai besar.
“NasDem dan Demokrat sama-sama ngotot. Demokrat kekeuh wajar, karena ini momentum kebangkitannya setelah 10 tahun jadi oposisi, ingat seperti PDIP tempo lalu. Demokrat juga ngotot karena merasa pernah pengalaman memerintah selama dua periode. Demokrat juga sebenarnya sudah menurunkan kengototannya dari AHY diusung sebagai capres menjadi cawapres Anies bolehlah,” ulas Efriza.
Apalagi jika dinilai elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang tinggi, misal dibanding Khofifah, apalagi Aher dan Andika Perkasa, jadi wajar mereka berkeras hati.
Di sini Efriza menilai ada tujuh poin penting mengapa NasDem meragukan AHY sebagai cawapres.
Di sisi Nasdem, merasakan keraguan terhadap AHY dan PD adalah beberapa hal:
1. AHY tak punya pengalaman di pemerintahan
2. AHY level DKI Jakarta aja pernah kalah
3. AHY – Demokrat saling menegasikan dengan PDIP. Demokrat adalah oposisi yang selalu menyerang PDIP. Demokrat lebih keras sebagai oposisi dibandingkan PKS, karena Demokrat dan PDIP memiliki rekam sejarah hubungan yang tak akur antara masing-masing ikon partai tersebut, tentunya ini amat merugikan NasDem yang ingin tetap memperoleh kursi menteri sebagai pendukung pemerintah
4. AHY dari berbagai survei cenderung kalah, artinya pasangan Anies-AHY tidak potensial besar kemenangannya
5. Internal Demokrat juga sebenarnya tidak adem-ayem tetapi bergejolak di bawah permukaan seperti kasus dengan Moeldoko, kasus dengan Marzuki Ali, dengan PKN
6. Memberikan kesempatan AHY cawapres sama saja mempurukan Nasdem sendiri dan malah menaikkan Demokrat, karena kedua partai ini sesama ceruk nasional
7. Disisi lain, sepertinya PD meski ngotot mengusung AHY sebagai cawapres Anies, tetapi PD tidak berani mengambil alih peran besar dalam hal memfasilitasi Anies ke depannya, sebab saat ini yang cukup besar telah membiayai logistik/fasilitasi Anies adalah Nasdem
Menyusul pertemuan Luhut dan Surya Paloh di London dan isu reshuffle yg masih maju mundur ditenggarai penyebab mulai melemahnya dukungan NasDem. Benarkah ini ada sangkut pautnya dengan deal di belakang layar agar NasDem tetap aman di pemerintahan Jokowi?
“Kecenderungan gagal berkoalisi amat memungkinkan. Intervensi pemerintah tentu saja tinggi. Apalagi Anies dianggap antitesis Jokowi. Hanya saja, koalisi perubahan cenderung gagal tidak serta merta dari pemerintah, tetapi lebih kuat dari sikap ngototnya PD. Nasdem dengan pemerintah masih bisa bekerjasama meski Anies diusung oleh Nasdem, karena komitmen Nasdem mendukung penuh pemerintah sampai 2024,” jelasnya.
Reshuffle menteri Nasdem masih mungkin sebagai sanksi, tetapi sepertinya tidak disingkirkan karena komitmen mendukung pemerintah. Jika disingkirkan malah menguatkan kekuatan oposisi pemerintah.
Menurut Efriza wajar jika Nasdem amat jengkel dengan sikap Demokrat, yang malah mau mengambil untung besar dalam koalisi. Mengusung Anies sebagai capres dengan syarat AHY sebagai cawapresnya. Sementara, jika Anies tak diusung oleh Nasdem, mungkin Anies tidak akan pernah didorong oleh Demokrat untuk membentuk koalisi. Jadi ini menunjukkan yang capek Nasdem tapi yang mau untung besar Demokrat.
Sisi lain, jika ngusung Anies saja, resiko NasDem rugi sudah tinggi karena juga digoyang oleh PDIP untuk keluar dari koalisi pemerintah, apalagi jika malah membesarkan Demokrat dan AHY, itu tentu saja seperti peribahasa “sudah jatuh ketimpa tangga”, kesialan beruntun.
“Dan, Nasdem sebagai peringkat lima tidak mau pemilu 2024 nanti malah apes bertubi-tubi, sudah membranding Anies, lebih besar pengeluaran biayanya, di reshuffle dari pemerintah, kemudian malah Demokrat peringkatnya mengalahkan Nasdem, plus ternyata usung AHY malah kalah. Tentu saja, martabat Surya Paloh langsung terpuruk, ” jelas dosen Ilmu Pemerintahan ini.
Tetapi politik saat ini dinamis, diyakini koalisi ini terbentuk di menit terakhir. Koalisi ini tetap bisa terwujud jika Demokrat mau mendukung Anies-Khofifah. Skenario ini menguntungkan Nasdem.
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)