RUANGPOLITIK.COM — Laga pemilihan presiden kali ini sangat berbeda dengan pemilihan presiden sebelumnya, dimana jelang satu tahun kompetisi para elit masih terlihat ambigu untuk menentukan langkah politik selanjutnya. Terutama tentang rivalitas persaingan yang dinilai belum mengerucutkan pada kandidat yang pas untuk segera bertarung.
Masing-masing koalisi ini masih terlihat adem ayem tak memperlihatkan pergerakan politik yang cepat. Hal ini sinyalir kuat bersamaan dengan deklarasi terlalu dini Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh partai NasDem. Mengingat Anies adalah mantan Gubernur DKI Jakarta yang pernah mengalami eskalasi politik yang cukup tinggi ketika bertarung.
Yakni politik identitas yang mengarah pada ancaman situasi keamanan dalam negeri dan kesatuan bangsa yang multi etnis dan budaya. Apalagi mengingat parpol juga kesulitan dalam mencari lawan tanding Anies. Meski ada dua nama besar yang saat ini mengemuka yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tapi mesin pilpres masih tetap mandeg.
Menurut pengamat politik dan Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Dr Sholeh Basyari, saat dihubungi RuPol, Minggu (29/1/2023) mengatakan kuatnya faktor Anies Baswedan didalam pencapresan.
“Anies Baswedan sebagai faktor lived or dead lock pilpres 2024,” tegas Dr Sholeh.
Pasalnya ini terlihat dari perubahan yang dilakukan oleh partai pengusung Anies yakni NasDem yang mulai bergerak ke Sekber yang notabene koalisi Gerindra-PKB meski kunjungan ini diembeli dengan ‘silaturrahmi politik’ namun Dr Sholeh menilai hal ini tak sesederhana yang terlihat di permukaan.
“Seminggu setelah peresmian sekber Gerindra PKB, pion-pion politik mulai bergerak dinamis. Setidaknya ada tiga pergerakan politik yang layak dicermati. Pertama, partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan, memainkan dua langkah politik sekaligus (Waketum Nasdem Ahmad Ali datang ke Sekber Gerindra PKB dan pertemuan tim kecil di rumah Anies Baswedan),” ungkapnya.
Hal ini tak bisa dipandang sebelah mata, mengingat waktu yang semakin mepet dan isu penundaan Pemilu 2024 yang kian menguat. CSIIS juga melihat adanya dinamika dari Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang melakukan gerak cepat.
“Kedua, sigapnya Prabowo road show ke Gibran dan Bobby di Solo dan Medan. Ketiga, kembali menggeliatnya isu penundaan pemilu,” jelas Direktur CSIIS ini.
Sehingga tak bisa dianulir jika ada faktor Anies Baswedan dibalik kompetisi yang kurang jelas ini. Ia juga menilai ketakutan ini seperti sesuatu yang disamarkan dari penglihatan publik sehingga menimbulkan multi tafsir.
“Ketakutan” Supra struktur politik (baca istana) terhadap mancungnya Anies Baswedan, bisa saja mewujud sebagai reasoning kedaruratan. Faktor Anies pula dipandang sebagai lived or dead lock pilpres 2024,” tegas pengamat politik ini.
Dr Sholeh juga menilai bagaimana pergerakan politik begitu dinamisnya, terutama masa jabatan Presiden Jokowi yang sudah selesai pada 2024 mendatang.
“Pergerakan tiga pendulum politik itu, secara kasat mata bermuara pada Pilpres 2024,” ulasnya.
Namun situasi kian menjadi pelik dan panas ketika rumor penundaan pemilu 2024 bergulir ke permukaan. Terutama kontroversi sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka. Karena PDIP sebagai partai penguasa menginginkan agar sistem pemilu 2024 dapat menggunakan Sistem Proporsional Tertutup yang kini kian menjadi perdebatan hangat di Mahkamah Konstitusi.
CSIIS juga berpendapat manakala fokus digeser ke Mahkamah Konstitusi, yakni tentang sidang gugatan proporsional tertutup, bisa saja desas desus penundaan pemilu, dipilih sebagai opsi “darurat”.
“Kegagalan Supra struktur politik membendung atau menciptakan Anies sbg common enemy, membuat istana dan juga PDI-P gagap menyikapi proses pemilu 2024. Kegagalan itu, direspon dengan munculnya kembali proposal penundaan pemilu melalui usulan yg berubah menjadi desakan sistem proporsional tertutup,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)