RUANGPOLITIK.COM — Pertemuan dua partai besar yakni Golkar dan NasDem pada Rabu (1/2/2023) dianggap bukan pertemuan politik biasa. Kelihaian Surya Paloh dianggap tengah berupaya merayu Golkar yakni Ketum Airlangga Hartarto dengan posisi tawar sebagai cawapres mendampingi Anies Baswedan.
Ketum Golkar Airlangga Hartarto menyebut kunjungan Surya Paloh di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat merupakan silaturahmi lanjutan usai Golkar menyambangi NasDem beberapa waktu lalu. Dia menjelaskan, pertemuan dengan Paloh akan membahas posisi Partai Golkar dan NasDem.
“Pertama tentu terkait dengan posisi dari Partai Golkar dan NasDem. Kedua silaturahmi, kan berlanjut karena Partai NasDem tentu sebagian besar juga alumni Partai Golkar,” kata Airlangga di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Rabu (1/2/2023).
Padahal di kubu Koalisi Perubahan, kedua partai PKS dan Demokrat tengah gontok-gontokan untuk mendapatkan jatah ini, namun Surya Paloh disinyalir tengah berupaya menggandeng kekuatan baru ingin merebut kekuasaan PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan berkuasa.
Banyak pihak memprediksi bahwa pilpres kali ini dengan posisi tawar yang sangat tinggi, yakni dengan membelotnya NasDem kini sebagai pihak yang mengusung anti tesis Jokowi dan Golkar yang kini dianggap mulai berpaling dari Jokowi atau PDIP. Yakni dengan menjadi inisiator partai parlemen yang menolak Pemilu Proporsional Tertutup yang menjadi arahan dari PDIP agar diterapkan pada Pemilu 2024.
Tapi Golkar secara terang-terangan menggandeng partai di Senayan satu suara menolak sistem ini. Akankah ini sinyal perlawanan terhadap kekuasaan PDIP sebagai partai nasionalis yang dikenal sebagai partai ‘wong cilik’?
Manuver Surya Paloh ini tak biasa dianggap main-main, menurut pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) saat dihubungi RuPol, Jumat (3/2/2023) mengatakan tidak menutup kemungkinan jika Golkar hengkang ke koalisi NasDem mengingat tak memiliki capres dengan elektoral yang tinggi.
“Situasi saat ini memungkinkan bagi Golkar bergabung ke Nasdem, pasalnya Golkar tidak miliki tokoh yang jelas terusung sebagai Capres, sementara Nasdem memiliki, di luar itu peluang Golkar mendominasi di Pemilu 2024 terbuka karena akan menjadi koalisi besar melawan PDIP,” tegas Dedi.
Namun Dedi menilai, tentunya tak mudah bagi Golkar untuk mengingkari ketokohan Jokowi yang selama ini dianggap memiliki pengaruh yang cukup besar.
“Hanya saja, Jokowi sebagai tokoh berpengaruh di Golkar belum tentu merestui mengingat Jokowi terlihat jelas tidak menyukai deklarasi Anies oleh Nasdem. Tetapi politik itu dinamis, bukan mustahil jika Golkar berseberang dengan Jokowi sekaligus dengan PDIP,” ulas pengamat politik ini.
Mengingat koalisi partai yang ada saat ini, Dedi menilai jikapun peluang Golkar akan pindah haluan lebih besar kemungkinan itu adalah Golkar ke Koalisi NasDem, bukan sebaliknya.
“Kemungkinan besarnya Golkar yang merapat ke koalisi NasDem, karena jika Nasdem yang ke KIB, dampak elektoral bagi Nasdem sulit didapat sebagaimana saat ini saat bersama Anies,” tegas Dedi.
ia juga menjelaskan mulai kendornya dukungan NasDem kepada Anies Baswedan tak bisa dipungkiri memang terlihat, di sini NasDem pastinya melakukan kalkulasi politik yang cermat. Termasuk gagalnya ‘Rabu Pon’ pasca pertemuan Jokowi dan Surya Paloh di istana yang mengakibatkan reshuffle kabinet masih tertunda.
“Bisa saja Anies gagal terusung dari NasDem, tetapi NasDem akan tetap jadi partai stagnan jika tidak berani menyeberang dengan kekuasaan di Pemilu 2024. Gagalnya reshuffle bisa saja karena faktor kuatnya bargaining NasDem dan seluruh afiliasi Surya Paloh, meskipun bagi Presiden, Anies Baswedan adalah masalah,” pungkasnya. (IY)
Editor: Ivo Yasmiati
(RuPol)