Oleh: Dr. Ali Muhtarom, M.S.I
RUANGPOLITIK.COM – Penggunaan isu politik identitas sebagai instrumen elektabilitas politik pada Pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada bulan Februari 2024 tidak lagi signifikan. Kondisi tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia saat ini sudah jenuh menerima propaganda penggunaan isu politik identitas yang bersifat instan dan selalu muncul pada saat momentum politik, terutama yang ditekankan pada instrumen paham keagamaan.
Di sisi lain, sikap kritis masyarakat Indonesia tentang substansi agama sudah mulai terlihat. Fenomena terakhir ini bisa dilihat dalam peran para kyai dan ustadz yang mampu menandingi narasi sebagian dakwah berkonten provokatif dengan pendekatan al-akhlak al-karimah dan kearifan lokal. Kemampuan dakwah secara metodologis dari para kyai dan ustadz lebih menekankan pada substansi dan moralitas agama untuk selalu membangun kesalihan pribadi dan sosial secara seimbang.
Pada saat yang sama, hiruk pikuk politik identitas keagamaan akan memperkeruh suasana keharmonisan warga bangsa karena berlawanan pada substansi ajaran agama yang mengutamakan nilai harmonisasi dan kemaslahatan umat. Kemudian jika dicermati secara lebih mendalam narasi-narasi penggunaan dakwah politik pada saat ini sudah tidak lagi dilirik masyarakat karena pada praktiknya orientasinya lebih bernuansa kemengan kelompok daripada menjunjung prinsip moralitas dan nilai ajaran agama.
Ketika orientasi dakwah hanya untuk kepentingan politik atau hanya untuk kepentingan partai, maka hal tersebut hanya bersifat instan. Apalagi hanya untuk sekedar menaikkan elektabilitas, sementara janji-janji kesejahteraan, pembangunan, dan kemaslahatan umat terlupakan ketika benar benar terpilih. Realitas tersebut hanyalah strategi politik yang tidak ada kaitannya dengan substansi agama.
Dalam konteks keislaman, dorongan syahwat politik yang “dibalut” dengan narasi keagamaan sering dihubungkan dengan gerakan islam politik. Jika kita menengok ke belakang mengenai kemunculan gerakan islam politik tidak bisa dipisahkan dari pengaruh gerakan islam politik dari Timur Tengah. Dinamika dan gejolak perang dingin pasca Revolusi Iran 1979 an memiliki dampak dalam pergulatan untuk menjadikan Islam sebagai sentral kekuatan.
Para peneliti, baik dari sarjana Barat maupun Timur kemudian memberikan legitimasi bahwa fenomena kebangkitan Islam (revivalisme), gerakan pemurnian ajaran Islam (renewal), bahkan munculnya gerakan paham keagamaan Islam transnasiomal pengusung khilafah sebagai kelompok yang mengusung gerakan islam politik. Sehingga, tidak terlalu berlebihan ketika penggunaan segala bentuk pemikiran dan aksi (masyarakat dan kaum cendikian Muslim) untuk tujuan mendirikan “negara Islam” menjadi selaras dengan defines Islam politik. Islam bukan agama semata, tapi juga ideologi politik (Oliver Roy).
Pengaruh ideologi Islam politik bagi bangsa Indonesia mengalami gelombang pasang dan surut seiring dengan konteks perpolitikan. Namun, pengaruh tersebut sempat mengganggu komitmen kebangsaan, terutama pada saat Pemilukada DKI 2017, di mana kondisi tersebut menurut Moch. Nur Ichwan mengakibatkan umat mengambang (floating ummah) dan terambang (floated ummah).
Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh ideologi Islam politik mampu menginfiltrasi gerakan baru Islam politik, terutama gerakan keislaman transnasional yang berorientasi pada, pertama, semangat kebangkitan Islam (revivalisme), kedua, doktrin universalisme kepemimpinan semacam khilafah, daulah Islamiyah, atau imamah, ketiga, corak pemikiran skripturalis, fundamentalisme atau radikal, dan keempat, penolakannya terhadap realitas negara bangsa yang dianggap sekuler (Ali Muhtarom).
Namun demikian, pengaruh narasi Islam politik, sebagaimana disinggung dalam bagian awal paragaraf di atas yang mulai meluntur karena masyarakat Indonesia pada saat ini semakin sadar memahami betul bahwa penggunaan agama untuk tujuan politik bukanlah substansi ajaran agama, melainkan cara instan untuk tujuan politik sesaat. Sehingga, upaya propaganda menjadikan paham keagamaan untuk tujuan politik akan memperkeruh substansi ajaran agama.
Esensi ajaran agama pada prinsipnya memperkokoh moral untuk penghormatan martabat kemanusiaan, kemaslahatan umum, dan nilai persaudaraan sebagai warga bangsa. Pada saat yang sama, ketika agama dijadikan tujuan politik, maka sudah banyak fakta di lapangan menunjukkan beberapa dari mereka bercerai berai dalam ragam dan varian masing-masing kepentingan yang terlupakan dari substansi bangunan ukhuwah.
Jika direnungkan secara jernih dan mendalam, penggunaan instrumen keagamaan untuk tujuan politik belum pernah mampu untuk mempersatukan umat, apalagi jika dikaitkan dengan ajakan untuk membangun persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyyah), justru sebaliknya yang akan muncul adalah beban resistensi di kalangan masyarakat Islam itu sendiri.
Sehingga, koridor yang selaras untuk membangun persaudaraan lebih ditekankan pada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih plural sebagai bentuk komitmen terhadap bangsa yang beragam.
Di sisi lain, masyarakat sudah sadar akan adanya persaingan global. Gema arus supremasi digital, pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat lebih penting untuk kemajuan bangsa.
Bagi para politis, ide dan gagasan tersebut yang perlu dimunculkan pada masyarakat daripada memunculkan isu politik identitas. Pembangunan SDM dalam era supremasi digital tersebut justru lebih signifikan akan membawa dampak dalam menghadapi era kontestasi menuju Indonesia emas 2045.
Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda perlu dipahamkan bagaimana perubahan besar dunia saat ini terus bergerak. Isu isu pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia sebagai bagian dari lanskap politik global seharusnya menjadi isu utama daripada mengulik paham keagamaan. Untuk itu, sentimen paham keagamaan sudah tidak signifikan dijadikan alat propaganda politik, terutama dalam gelaran Pemilu yang akan datang.
Masyarakat sudah lelah melihat hujatan demi hujatan dan propaganda yang berpotensi pada memuncaknya tensi ketegangan. Jika narasi paham keagamaan yang dijadikan dasar untuk memercikkan tensi ketegangan, maka sudah dipastikan kondisi tersebut bukan nilai dan esensi dari ajaran agama, melainkan emosi individu atau sebagian kelompok yang memaksakan kehendaknya.
Penulis adalah Akademisi dan Pegiat Kajian Islamis Kontemporer
Editor: Syafri Ario
(Rupol)