Saat masih muda, Cipto Mangunkusumo sudah memperlihatkan kepribadian yang dianggap dewasa, jujur, kritis, dan berpikiran tajam oleh teman-teman serta gurunya saat masih mengenyam pendidikan di STOVIA.
RUANGPOLITIK.COM —Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu tokoh pahlawan yang terkenal menjadi bagian dari Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker dan bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Lalu, bagaimana perjalanan hidup Cipto Mangunkusumo hingga menjadi pahlawan nasional? Ini profil Cipto Mangunkusumo.
Profil Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional yang lahir di Pecangaan Jepara, Jawa Tengah pada 4 Maret 1886. Cipto Mangunkusumo sendiri terkenal karena dirinya merupakan salah satu tokoh yang vokal mengkritik segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda lewat tulisan-tulisannya di koran, terutama dalam hal bidang politik dan bidang pendidikan.
Saat masih muda, Cipto Mangunkusumo sudah memperlihatkan kepribadian yang dianggap dewasa, jujur, kritis, dan berpikiran tajam oleh teman-teman serta gurunya saat masih mengenyam pendidikan di STOVIA.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di STOVIA, Cipto Mangunkusumo menjadi seorang jurnalis pada surat kabar harian kolonial De Locomotief, dan menuliskan berbagai kritiknya mengenai diskirminasi yang dirasakannya saat masih mengenyam pendidikan di STOVIA karena bukan bagian dari keluarga kolonial dan pejabat.
Tak hanya sampai di situ, Cipto Mangunkusumo juga seringkali melemparkan kritik keras kepada pemerintah Hindia Belanda karena kondisi masyarakat Indonesia yang menderita karena banyaknya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah setempat sebagai bentuk kolonialisme pada zaman tersebut.
Dikenal Menjadi Salah Satu Sosok Tiga Serangkai
Cipto Mangunkusumo bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara terus dengan vokal menentang dan mengkritik segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan berbagai cara baik itu lewat media surat kabar, ataupun lewat manuver-manuver politiknya. Mereka dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”.
Salah satu manuver politik yang dilakukan oleh Cipto Mangunkusumo bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara adalah dengan membentuk Indische Partij yang pada saat itu merupakan partai politik pertama yang mencetuskan ide untuk memiliki pemerintahan di tangan masyarakat sendiri dan bukan di tangan penjajah.
Mengenal Profil Douwes Dekker, Tokoh Kebangkitan Nasional Berdarah Belanda
Cipto Mangunkusumo juga pernah menjadi ketua Bumiputera dan menginisiasi untuk mengumpulkan dana agar bisa mengirim pesan kepada Ratu Wilhelmina untuk meminta pembatalan pembentukan parlemen serta mencabut semua pembatasan-pembatasan kegiatan politik bagi masyarakat di Indonesia.
Selain itu, Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat juga mengeluarkan selebaran yang menyatakan bahwa perayaan kemerdekaan Belanda dengan menggunakan uang dan tenaga rakyat Indonesia adalah bagian dari bentuk penghinaan pemerintah Belanda terhadap masyarakat Indonesia.
Dalam rangka melanjutkan kegiatan tersebut, Cipto Mangunkusumo menerbitkan sebuah artikel yang mengajak rakyat secara bersama-sama memboikot perayaan hari kemerdekaan Belanda di Indonesia.
Berbagai kritikan keras yang dilontarkannya lewat surat kabar harian De Locomotief mengenai pemerintah Hindia Belanda, membuat dirinya diasingkan Belanda karena dianggap sebagai provokator dan memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat pada masa itu.
Setelah menyelesaikan masa pengasingannya di Belanda, pada tahun 1917, Cipto Mangunkusumo kembali pulang ke tanah air untuk melanjutkan perjuangannya dalam menyadarkan masyarakat agar mau keluar dari kelamnya penjajahan dan kolonialisme, hingga dia meninggal dunia pada tahun 1943.
Editor: B. J Pasaribu
(RuPol)